PETUALANGAN BINTANG

PETUALANGAN BINTANG

By : Niken

 

BINTANG……. adalah nama persahabatan kami. Karena itu adalah inisial dari nama kami (Bima, Ikram, Nu’man, Tama, dan Angga). Dan itu juga harapan guru-guua di sekolah agar kami dapat menjadi bintang yang menyinari di gelapnya malam. Kami adalah siswa kelas 5 yang akan naik kelas 6 SD. Persahabatan yang terbentuk ini, karena seringnya kami bermain dan berinteraksi di sekolah dan di luar sekolah. Selain itu kami juga senasib, memiliki orang tua yang terlalu sibuk, sehingga terkadang lupa terhadap kami.

Liburan kenaikan kelas telah tiba. Sebelumnya kami memiliki rencana untuk Back Packeran dan kemping ke tempat dahulu kami pernah kemping. Orang tua kami juga mengizinkan. Kami membawa segala perlengkapan baik itu makanan, minum, uang, baju, sleeping bag, ponco, dan juga jaket. Kami berkumpul terlebih dahulu di base camp kami, yang letaknya tidak jauh dari sekolah.

“Angga jadi ikut nggak?” tanya Bima.

“Jadi ikut”, jawab Ikram.

“Sudah jam segini kenapa belum datang, ya?” tanya Tama.

“Katanya dia dari rumah ayahnya, jadi agak lama sampai ke sini”, jawab Ikram.

Tidak lama kemudian, akhirnya Angga datang. Angga meminta maaf atas keterlamabatannya.

“Akhirnya datang juga ……, “ kata Nu’man.

“Maaf banget ya guys!” kata Angga.

“Oke, no problem!” sahut teman-teman yang lain serempak.

Akhirnya mereka memulai perjalanan mereka menuju tempat kemping yang pernah mereka jelajahi. Banyak cerita yang membuat mereka diizinkan. Ada yang orang tua keluar kota dan izin dengan sms saja dan orang tua oke-oke saja. Ada yang harus ke tempat ayahnya dulu, karena jika izin dengan ibuhnya pasti tidak diizinkan. Bahkan ada yang izin hanya ingin berjalan-jalan mengisi liburan, juga diizinkan.

Mereka melakukan Back Packeran bertujuan selain mengisi waktu libur dan refreshing, ternyata mereka punya niat untuk menguji orang tua mereka. Tadinya mereka berniat untuk kabur dari rumah, karena kondisi yang tidak nyaman di rumah dan terlalu sibuknya oarng tua mereka. Tapi mereka mengurungkan niat itu, karena itu seperti lari dari masalah. Akhirnya mereka mengganti niat mereka dengan  Back Packeran. Selain itu mereka juga mencari informasi sebelum berangkat, dengan browsing di google dan bertanya kepada guru mereka. Naik kendaraan umum apa saja, mengeprint peta lokasi tujuan, samapai perlu membawa uang berapa agar sampai tempat tujuan.

Perajalanan awal dilalui ke terminal untuk naik bis menuju Bogor. Agak canggung dan was-was juga, karena ini perjalanan mereka tanpa didampingi orang dewasa. Tapi mereka juga berdoa agar dilindungi Allah. Dan yang lebih utama adalah tidak meninggalkan shalat 5 waktu. Setiap mereka mendengar adzan dan mereka melihat mushola, mereka langsung melaksanakan shalat.

Dari terminal Bogor, mereka lanjutkan dengan naik angkot menuju lokasi. Setelah sampai ujung pangkal angkot itu berhenti, mereka lanjutkan lagi dengan angkot berikutnya. Sama seterusnya sampai tiga kali angkot yang mereka naiki. Pada pangkalan angkot ketiga ini, mereka mulai terheran-heran dan bingung. Mereka mulai baca peta dan rute angkotnya. Dan ternyata………., mereka salah naik angkot dari terminal Bogor.

Mereka berdisksusi lagi, apakah mereka harus balik ke terminal Bogor sementara waktu senja menuju malam mulai datang atau mereka harus menginap dulu di daerah tesebut? Akhirnya mereka putuskan untuk ke mushola yang tak jauh dari pandangan mata mereka. Mereka melaksanakan shalat Maghrib dan Isya di mushola tersebut. Setelah itu mereka melepas lelah di mushola tersebut sambil memikirkan apa yang akan mereka lakukan lagi. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidur di mushola itu malam ini. Dan besok mereka akan menuju terminal Bogor kembali. Mereka juga memperhitungkan ongkos lagi. Ternyata, dompet mereka ada yang dicopet, miliknya Angga dan Tama. Padahal uang mereka berdua cukup banyak. Tinggallah mereka menghitung uang bertiga yang tersisa, dan ternyata ongkosnya tidak cukup. Bekal mereka juga hampir habis karena perjalanan panjang ini membuat mereka lapar dan tidak memikirkan kedepannya.

“Untuk mendapat uang, besok jual barang-barang yang kita miliki saja”, usul Nu’man.

“Oke, daripada kita tidak dapat balik”, kata Ikram.

“Terus kita tetap jadi kempingny?” tanya Tama.

“Kalau kita jual barang-barang kita, berarti kita harus segera kembali ke rumah” kata Angga.

“Berarti kita nggak jadi kemping dong”, kata Tama.

“Percuma kemping, tapi nggak ada barang-barang yang diperlukan”, kata Angga.

“Insya Allah kita bisa tetap kemping, kan tidak semua barang-barang kita dijual kan? Sekarang istirahat dulu saja. Besok pagi kita lanjutkan diskusinya” kata Bima bijak.

“Oke…..” jawab mereka serempak.

Akhirnya mereka tidur di mushola itu. Karena cukup dingin, mereka memakai sleeping bag yang mereka bawa. Cukup pulas juga mereka tidur. Karena perjalanan jauh dan capek juga.

Keesokan paginya, ada yang membangunkan mereka. Tepat pukul 4 subuh, mereka dibangunkan oleh seorang bapak paruh baya, bernama Pak Sholeh. Pak Sholeh terheran-heran, kenapa 5 anak ini masih ada di mushola. Kemarin sempat melihat, tapi tidak terlalu Pak Sholeh hiraukan. Pak Sholeh akan bertanya kepada mereka setelah shalat Shubuh. Setelah shalat Shubuh Pak Sholeh bertanya kepada mereka berlima. Bima yang banyak menjelaskan persoalan yang mereka alami. Pak Sholeh yang baik hati, tak tega setelah mendengar cerita mereka. Bahkan mempersilakan mereka berlima untuk menginap di rumahnya, sebagai ganti kemping mereka.

Pak Sholeh adalah seorang petani dan pengurus mushola. Pak Sholeh memiliki tiga petak sawah, 1 hektar ladang sayuran, dan empang yang mengelilingi rumahnya. Pak Sholeh tinggal bersama istrinya di rumah sederhana. Istri Pak Sholeh orang yang baik. Dan mengizinkan kelima anak itu menginap di rumahnya. Apalagi Pak Sholeh dan istrinya belum dikarunia anak. Mereka senang ada anak-anak yang menginap di rumahnya.

Mereka berlima banyak belajar dari keluarga Pak Sholeh yang sederhana. Mereka juga belajar bertani di sawah dan ladang, serta bagaimana merawat ikan. Mereka juga memperoleh hikmah pelajaran dari perkataan-perkataan Pak Sholeh dan Bu Sholeh.

Di malam harinya, setelah makan malam ada sedikit perbincangan di antara mereka berlima, Pak Sholeh, dan Bu Sholeh.

“Saya betah sekali tinggal di sini, Pak!” seru Ikram.

“Saya juga, Pak.” Nu’man juga menimpali.

“Iya, Pak kami disini seperti mendapat keluarga baru dan pelajaran berharga”, sahut Bima.

“Bolehkah kami tinggal disini, Pak?” tanya Angga.

“Saya juga ingin tinggal disini, Pak” kata Tama.

“Memangnya kalian tidak akan dicari orang tua kalian”, kata Pak Sholeh.

“Orang tua kalian pasti kangen dengan kalian”, kata Bu Sholeh menimpali.

“Orang tua saya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Kayaknya saya tidak terfikirkan oleh mereka” kata Tama.

“Perasaan yang saya alami juga, Pak. Terlebih orang tuaku harus berpisah” Angga menimpali.

“Yang namanya orang tua pasti menyayangi anaknya. Dan pasti mereka perhatian dengan kalian sesibuk apapun. Buktinya kalian tidak diterlantarkan orang tua kan?” kata Pak Sholeh.

“Coba bandingkan kebaikan orang tua kalian yang telah merawat, mendidik, memberikan keperluan kalian, menyekolahkan kalian dengan kebaikan yang kalian berikan kepada orang tua kalian” kata Bu Sholeh.

Mereka semua tertegun menunduk dan hampir saja tetesan air mata mengalir. Mereka tersadar kesalahan yang telah mereka perbuat. Tapi, mereka juga belum siap juga untuk kembali ke rumah.

“Sebenarnya Bapak tidak keberatan kalian tinggal di sini. Apalagi ada juga yang mau membantu Bapak dan Ibu di sawah, ladang, dan empang. Tapi Bapak teringat orang tua kalian. Kalau untuk cuma sehari Bapak dan Ibu tidak keberatan” kata Pak Sholeh.

Setelah perbincangan itu, akhirnya mereka kembali ke kamar untuk istirahat. Sebelum mereka istrirahat sempat mengobrol sebentar, terkait rencana pulang mereka. Karena uang mereka tidak cukup untuk ongkos, mau minta ke Pak Sholeh juga tidak enak. Sampai mereka berfikir jalan kaki saja pulangnya.

Keesokan paginya setelah shalat Shubuh di mushola, mereka membantu Pak Sholeh dan Bu Sholeh di sawah dan ladang. Hari ini panen kangkung. Mereka membantu mencabut kangkung yang segar. Sekitar 10 kg kangkung mereka peroleh. Sebagian kecil untuk dimasak dan semuanya dijual di koperasi. Di sawah mereka membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung-burung.

Seharian ini mereka puaskan untuk kegaiatan bertani dan juga jalan-jalan. Sekaligus merefresh diri. Apalagi ini hari terakhir, besok mereka akan pulang. Namun di malam harinya, tiba-tiba Pak Sholeh punya kejutan. Mereka akan diajak ke temapat yang terindah sebagai pengganti tempat kemping yang tidak jadi.

Mereka tidak sabar, tempatnya seperti apa ya..? Bahkan untuk pulang ke rumah saja, jadi tidak kepikiran lagi. Mereka menghayal tempat itu, ada apa saja, suasananya bagaiamana, dan yang pasti lebih indah dari tempat kemping itu.

Setelah semalam mereka merapikan barang-barang mereka, sekarang tibalah saatnya Pak Sholeh memenuhi janjinya. Mereka pergi naik mobil keponakan Pak Sholeh, disupiri keponakan Pak Sholeh yang bernama Kak Ilyas. Mereka menikmati perjalalan ini, sampai mereka tertidur. Walaupun sempat berhenti untuk makan siang dan shalat Zhuhur, setelah itu mereka tidur lagi.

Tersadar, ternyata mereka sudah berada di Jakarta. Mereka bingung dan bertanya-tanya, apakah Pak Sholeh tidak menepati janjinya ataukah memang di Jakarta ada tempat yang lebih indah dari kemping?

Pertanyaan terjawab setelah sampai rumah Angga. Bahwa tempat yang indah itu sebenarnya adalah rumah mereka. Pak Sholeh dan keponakannya mengantarkan satu per satu. Pak Sholeh mengetahui alamatnya, karena sempat melihat buku yang ada di tas masing-masing yang dilengkapi alamat rumah, nomor telepon, nomor handpohone orang tua. Pak Sholeh juga minta maaf telah lancang, tidak minta izin melihat buku tersebut.

Satu per satu anak diantar dan didampingi Pak Sholeh. Tangis haru mewarnai lembaran kisah mereka. Anak meminta maaf dan bereterus terang kepada orang tuanya. Orang tua meminta maaf atas kesalahannya selama ini. Orang tua juga menyadari kesalahannya dan berjanji akan lebih baik, lebih perhatian lagi, lebih kominikatif lagi kepada anak-anaknya. Anak-anak juga berjanji akan menjadi anak yang sholeh, yang berbakti kepada orang tua, dan lebih kooperatif lagi. Orang tua juga mengucapakan terima kasih kepada Pak Sholeh.

Setelah mengantarkan kelima anak tersebut, akhirnya Pak Sholeh dan Kak Ilyas kembali lagi ke Bogor. Pak Soleh menjalankan rutinitasnya sebagai petani. Dan kehidupan keluarga kelima anak tersebut menjadi lebih baik.

Tinggalkan komentar