PELANGI SENJA

PELANGI SENJA

By: Lusminah

 

Namaku Nina, aku sekolah di SD Pelangi 03 dan aku sangat bangga dengan sekolahku. Sekolahku adalah sekolah yang “Mewah”. Mendengar kata mewah, mungkin di benakmu yang terlintas adalah seperti sekolah di kota-kota besar yang memiliki gedung bagus, ruang kelas berAC, dan fasilitas pendukung yang lengkap. Tetapi “Mewah” bagi sekolahku bukan itu, arti mewah untuk sekolahku adalah “Mepet Sawah” yang dalam bahasa Indonesia artinya “dekat sekali dengan sawah”. Yah, di belakang sekolahku terbentang berhektar-hektar sawah dan dua diantaranya yang berada tepat di belakang gedung sekolah adalah sawah milik sekolahku. Sawah tersebut biasanya digunakan oleh siswa kelas 5 dan 6 untuk praktek menanam padi.

Di bagian depan sekolahku terdapat halaman berpagar pohon angsana dan tanaman anak nakal  yang dinakali oleh tali putri sehingga sebagian daun menjadi kering karena dihisap cairan sari makanannya. Halaman ini cukup luas, kami biasanya menggunakannya sebagai tempat upacara bendera, olahraga, dan bermain. Di sebelah barat sekolahku terdapat sungai yang berubah-ubah warnanya sesuai musim, coklat saat musim hujan karena banyak lumpur terbawa oleh hujan dan hijau ketika musim kemarau karena banyak lumut di dalamnya.

Sekolahku adalah satu-satunya SD di 4 desa (Desa Lento, Desa Wungu, Desa Penta, dan Desa Kedung)  di daerah tempat tinggalku. Jadi, maklum saja jika jumlah murid satu kelas di sekolah sangat banyak. Di kelasku sendiri ada 63 anak dengan satu guru. Bisa kamu bayangkan bagaimana hebat dan sabarnya guru kelasku. Satu meja di kelasku diisi 3 anak dengan 1 bangku panjang.

Aku akan kenalkan beberapa teman sekelasku. Teman-teman yang berasal dari kampungku  (Desa Lento), ada sitinggi Sari, ada Budi anak kiyai yang tidak bisa ngaji, ada si Turianak nelayan, ada Simin yang belum bisa baca dan sudah 3 kali tidak naik kelas. Dari Desa Kedung, ada sikecil yang cerewet dan bawel Ulfa yang biasa dipanggil Unyil, ada sijahil Teguh dan kami memanggilnya Toggok. Dari Desa Wungu, ada ketua kelas sekaligus si bintang kelas Yanti, ada Inah yang rumahnya sering kami singgahi saat jam istirahat, dari Desa Penta ada si tomboy Linda, si pendiam tapi pintar Ruhaniah kami memanggilnya Siru, dan anggota gank Toggok yaitu Giyo, Jono, dan Yanto.

Sekolah adalah hal yang menyenangkan bagi kami semua, jadi tidak heran kalau aku dan teman-temanku tidak pernah terlambat datang ke sekolah. Bahkan yang paling jauh sekalipun yang membutuhkan waktu lebih dari 30 menit berjalan kaki pun juga tidak pernah terlambat.

Pada pagi hari untuk melatih kami tertib, rapi, dan disiplin guru kami menyiapkan kami berbaris rapi di depan kelas saat bel masuk berbunyi. Kami harus berbaris rapi dan masuk kelas satu per satu. Untuk menciptakan suasana ceria dan semangat sebelum memulai belajar kami bersama guru kami menyanyikan lagu “Pergi Belajar” kamu pasti tahu kan bagaimana syairnya….  Ayo, kita nyanyikan bersama!

Oh Ibu dan Ayah, selamat pagi

Ku pergi sekolah sampai kan nanti

Selamat belajar, Nak penuh semangat!

Rajinlah selalu tentu kau dapat!

Hormati gurumu, sayangi teman!

Itulah tandanya kau murid budiman

 

Hari ini jam pertama diisi dengan pelajaran IPA  (Ilmu Pengetahuan Alam). Guru kami Pak Sumar tahu sekali cara menyenangkan hati kami.

“Anak-anak, hari ini kita akan belajar IPA. Kita jalan-jalan ke sawah!” seru Pak Sumar

“Horreeeee!” kompak sorak kami

Suara musik gaduh tak berirama dan gerak tari tak berkoreografi pun langsung menambah meriahnya kelas kami. Anak–anak serentak memukul-mukul meja dan melonjak berputar-putar di sekitar meja masing-masing karena kegembiraan yang membuncah.

“Eits, tapi tidak sekedar jalan-jalan ya!. Bapak punya tugas untuk kalian!. Cari tumbuhan air yang namanya kapu-kapu! Bentuknya seperti mawar berwarna hijau”.Setelah dapat kalian tanam di parit depan sekolah! Biar ikan-ikan kecil yang ada di sana punya rumah yang indah seperti kalian.” intruksi panjang Pak Sumar pada kami

“Rebes pokoke, Pak!”*1)

“Tenang baelah, Pak!”*2)

“Tek gawakna 100 mengko pokoke lah, Pak. Khusus nggo bapake!”*3) Jawab Toggok khas dengan logat Banyumasannya yang disambut gelak tawa teman-teman satu kelas.

“Oke, Siap anak-anak! Let’s Go!” pandu Pak Sumar

Inilah hal yang aku banggakan dari sekolahku. Kemewahan yang sebenar-benarnya yang Tuhan limpahkan ke kami, siswa-siswa sekolah kampung. Fasilitas alam yang luar biasa lengkap dan alami yang bisa kami eksplorasi saat belajar tanpa harus membayar mahal yang tentunya anak-anak kota tidak bisa dapatkan secara gratis. Kami bisa melihat dan berpraktek langsung dengan tumbuhan atau hewan yang diceritakan dalam buku pelajaran.

Ahaaaa…!!!!!!! jam istirahatpun tiba. Anak-anak yang membawa uang saku biasanya jajan di warung makan seberang sungai membeli lontong dan bakwan, makanan yang mengenyangkan dan sehat, kesukaan kami. Atau di warung kelontong depan sekolah membeli makanan kesukaan anak SD snack lidi (karena bentuknya yang seperti lidi), kerupuk pedas, permen cicak (permen manis dari kedelai yang diberi warna-warni), permen karet berhadiah jika kami berhasil mengumpulkan huruf-huruf penyusun nama permen tersebut secara lengkap.

Lalu bagaimana dengan kami yang tidak memiliki uang saku? Kami tidak kehilangan akal untuk, bisa memuaskan mulut gatal kami untuk mengunyah. Kami menuju ke rumah Inah yang paling dekat dengan sekolah, memanjat pohon jambu biji di depan rumahnya dan memetik buahnya sepuas kami. Alternatif lain yang menjadi incaran kami, adalah buah-buah langka sepertianggur brasil, buah kecil-kecil seperti anggur yang rasanya manis kalo sudah masak berwarna merah mendekati ungu dan asam ketika masih hijau.Karena bentuknya yang bulat kecil dan warna hijau seperti lumut ketika masih muda maka kami menamainya “Onde-Onde Lumut” atau dalam istilah Bahasa Indonesia bernama “Jaboticaba”. Atau buah unik berbentuk lonjong berwarna merah tua sampai ungu kehitaman menarik seperti anggur yang sudah langka sekali namanya “Juwet” atau dalam bahasa Indonesia bernama “Jamblang”. Sebenarnya rasanya tidak begitu enak, rasanya sepet masam tapi kami suka sekali dengan buah ini karena warnanya yang menarik.

Kalau sudah puas makan kami tidak melewatkan jam istirahat dengan bermain. Permainan favorit anak-anak perempuan di sekolahku adalah congklak, cublak-cublak suweng, lompat tali, ular naga, atau boneka bongkar pasang dari kertas, dan rumah-rumahan dari pasir di halaman sekolah. Sedangkan permainan favorit anak laki-laki adalah kelereng, yoyo dan gasing yang mereka buat sendiri dari kayu, perang-perangan dari pistol bambu berpeluru kertas yang dibasahi air yang mereka buat sendiri. Anak laki-laki dan perempuan juga tak jarang main bersama, permainan yang sering dimainkan adalah permainan tradisional seperti Engklek/Suramanda, Boi-boian, Baron, Gatrik/Pethik, atau kartu wayang.

Teng….teng….teng…..

Teng….teng….teng…..

Bel masuk berbunyi, kami berlarian dari tempat main masing-masing menuju kelas. Kami tidak mau dihukum karena terlambat masuk kelas.

Kali ini adalah pelajaran matematika yang dibawakan oleh Pak Sumar. Pelajaran yang tak begitu ku suka, pasalnya hitung-hitungannya sudah angka besar, jariku sudah tak cukup lagi untuk menghitung walau sudah ditambah dengan jari-jari di telapak kakiku. Tapi kali ini aku sudah membawa senjata tambahan yang ku buat bersama kakakku sehari sebelumnya. Aku sudah memotong lidi-lidi seukuran 5 cm dalam jumlah yang banyak mungkin sampai 200 potong untuk menambah jumlah jariku. Dengan senjata baruku ini ku yakin ku mampu menghadapi matematika hari ini.

Ditengah pelajaran,Pak Sumar dipanggil oleh kepala sekolah, sehingga beliau memberikan soal yang cukup banyak untuk kami supaya anak-anak tidak ke luar dari kelas selama Pak Sumar di kantor.

“Anak-anak, Bapak tinggal sebentar.”

“Jangan ribut, kerjakan soalnya dengan baik!” perintah Pak Sumar

“Baik, Pak!” seru anak-anak

Tidak ada pak guru adalah kebebasan buat kami. Ini adalah kesempatan untuk Teguh melampiaskan keusilannya pada teman-teman. Benar saja, Teguhsegera saja berkeliling kelas diikuti penggawal setianya Giyo, Jono, dan Yanto. Mata jahil Toggok menangkap sesuatu.

“Hei, Unyil ! baju atau serbet yang kau pake ke sekolah? Baju sudah tipis dan sobek begitu masih saja kau pake ke sekolah. Itu sih pantasnya buat lap meja keset kaki!” ejek Teguh

“haaaa…haaaa…..haaaa……” kompak anggota gank Toggok tertawa gelak-gelak

Semua mata teman-teman sekelasku yang tadinya fokus ke soal yang diberikan Pak Sumar serempak menoleh ke bangku Ulfa. Baju yang dipake Ulfa memang sudah tipis dan nampak ada sobekkan kecil dibagian punggungnya, sebenarnya kecil sekali mungkin hanya 0,5 cm. Walaupun malu Ulfa adalah anak yang berani, karena kekesalan yang memuncak Ulfa pun berani menjawab ejekan Teguh

“Hei Toggok, kalau kamu tidak suka, tak usah kamu lihat bajuku! Gampang kan! Aku tahu kamu anak orang kaya, tapi jangan kamu sombong seperti itu! Aku memang anak orang miskin, ayahku tidak bisa membelikanku baju baru setiap saat tidak seperti ayahmu, tapi aku tidak suka kau menghinaku seperti ini!” seru Ulfa sambil membanting pensil ditangannya

“Hahaha….haahaahaa…. kecil-kecil bisa marah juga Unyil ini!”

“Auuu…..takut! kabuuuurrrr!” seru Teguh pada ganknya sambil berlalu

Begitu sampai di depan bangkuku Teguh dan teman ganknya itu berhenti sejenak dan memperhatikanku yang sedang sibuk menghitung dengan lidi-lidiku. Kemudian mereka kompak tertawa.

“hahaha…..”

“Masa udah kelas 3 menghitung soal gampang begitu saja tidak bisa! Pakelidi lagi, bodoh banget sih!! Pantas aja, makannya saja jeruk bayi, ya otaknya seperti bayi!”

Mendengar ejekan Teguh mataku mulai basah, air mata siap meluncur dari mataku. Sari teman sebangkuku yang melihatku berusaha menasehatiku

“Udah ga usah didengerin omongan ga guna seperti itu, Nin! Nanti kalo udah capek juga diem sendiri mulut besarnya itu.”

Mendengar ucapan Sari, Teguh panas hatinya.

“Hei, apa kamu bilang tadi! Aku mulut besar? Kamu mau menantangku, hah? Memang benar apa yang aku bilang kan? Semua teman kampungmu itu bodoh-bodoh semua. Perlu bukti? Lihat saja sendiri Simin 3 tahun ga naik kelas. Nina, sahabatmu ini menghitung saja tidak bisa, Budi yang katanya anak Kiyai mengaji saja tidak bisa.”

“Iya tu dengar Sari, tidak ada yang pintar dari kampungmu!” dukung Yanto

“Benar-benar, dari kampung lain ada yang masuk sepuluh besar. Dari kampungku ada Siru, kampung Wungu ada Yanti, Kampung Kedu ada si unyil, nah dari kampungmu siapa?” tambah Giyo dan Jono

Mendengar ucapan-ucapan Teguh dan teman ganknya, Simin semakin menunduk karena sedih sementara emosi Budi pun terpancing. Dia langsung berdiri dari bangkunya dan menghampiri Teguh.

“Toggok! Kau boleh mengejekku, tapi aku tidak terima kamu bawa-bawa ayahku! Sebelum mengejek orang lihat dulu dirimu. Memang sepintar apa kamu? Apa pernah kamu dan teman-temanmu ini masuk sepuluh besar? Simin memang tidak naik kelas, tapi kalo menggambar dan membuat perahu kamu pasti kalah dengannya! Kamu itu beraninya cuma sama anak perempuan! Apa kamu bilang, kamu pikir aku takut denganmu? Ayo, berkelahi sekarang juga!”

Melihat keadaan kelas yang semakin ribut, Yanti dan Siru segera pergi ke ruang guru untuk melapor ke Pak Sumar. Tidak sampai 5 menit, Pak Sumar sudah muncul di ambang pintu diikuti Yanti dan Siru.

“Sssttt ada Pak Sumar, ada Pak Sumar!” bisik anak-anak sambil kembali ke tempat duduk masing-masing

“Ada apa ini ribut-ribut?” seru Pak Sumar

“Ini, Pak. Budi mengejek saya, Pak!” lapor Teguh

“Tidak, Pak. Toggok yang mulai duluan, Pak!” bela Budi

“Iya, Pak. Tadi Toggok yang mulai duluan mengganggu dan mengejek saya, Nina, Budi, dan Simin, Pak.” Dukung Ulfa

“Sudah-sudah! Pak guru tidak mau mendengar kalian saling mengejek dan berkelahi lagi!”

“Sekarang kamu, Teguh minta maaf sama teman-temanmu semua! Dan nanti, sepulang sekolah kamu menghadap saya di ruang guru!”Teguh menoleh ke arah Ulfa sambil membisikkan ancaman

“Awas ya nanti, kamu Unyil. Ini semua gara-gara kamu!”

Pak Sumar yang masih memperhatikan Teguh, mendengar apa yang diucapkan Teguh.

“Teguh, jaga bicaramu!”

“Pak guru tidak mau lagi mendengar kalian memanggil nama teman dengan julukan-julukan yang tidak bagus! Orang tua kalian membuat nama kalian itu tidak gampang. Nama yang diberikan kepada kalian itu merupakan doa orang tua kalian, harapan orang tua kalian. Untuk mengumumkan nama kalian saja waktu bayi butuh biaya untuk upacara syukuran dan pake ritual bubur merah putih segala. Jadi jangan sembarangan mengubah nama orang!” Nasehat panjang pak guru pada kami.

Teng….teng….teng….

Teng….teng….teng….

Bel pulang sekolah sudah berdentang. Sudah waktunya pulang sekolah. Pak Sumar segera meminta ketua kelas memimpin doa pulang sekolah. Setelah berdoa, seperti biasa kami menyanyikan 2 buah lagu bersama-sama, setelah itu maju dengan tertib, mencium tangan pak guru kami dan pulang. Tahukah kamu 2 lagu yang biasa kami nyanyikan? Kalau kamu tahu boleh kita nyanyikan bersama-sama, yuk!

Gelang sipaku gelang

          Gelang si romo-romo

          Mari pulang, marilah pulang

          Marilah pulang bersama-sama

 

                       Sayonara sayonara

                       Sampai berjumpa lagi

                       Buat apa susah, buat apa susah

                       Susah itu tak ada gunanya 

 

Waktu pulang adalah waktu yang menyenangkan buat ku dan teman kampungku, waktunya kami berburu harta karun di semak ilalang tepi sungai. Harta karun berbentuk bulat lonjong, berwarna hijau biru, yah telur bebek. Biasanya banyak bebek yang digembalakan di daerah itu. Jadi jika kami beruntung kami bisa menemukan 1 atau 2 butir telur di daerah itu yang bisa kami jual untuk uang saku atau digoreng untuk lauk makan. Jika kami merasa lelah biasanya kami beristirahat dan memanjat “pohon boni” yang buahnya sering dibilang buah makanan monyet, tapi kami juga suka memakannya tapi kami bukan monyet lho! Pohon itu tepat berada di tepi sungai dengan cabang-cabang batangnya yang berada di atas air sungai. Jadi memang rasanya asyik sekali nangkring di atas pohon boni itu.

Perburuan harta karun kali ini terasa lebih seru, karena sambil membicarakan peristiwa tadi di sekolah dan ide untuk memberi pelajaran atas kenakalan Teguh. Simin pun yang biasanya jarang bicara kini ikut urun bicara. Mungkin karena dia juga merasa dongkol sekali di sekolah tadi. Dari pembicaraan itu didapat ide untuk ngerjain Teguh dengan menempelkan permen karet di bangkunya.

Satu minggu sudah sejak peristiwa itu, aku selalu menolak untuk membawa lidi-lidiku saat pelajaran matematika. Kakakku heran melihatku karena saat membuat lidi-lidi itu aku terlihat semangat sekali. Diam-diam kakakku mencari informasi dari Sari temanku saat teman-teman kampungku berkumpul untuk bermain bersama di malam hari setelah pulang mengaji di masjid. Malam hari saat terang bulan memang saat yang menyenangkan untuk bermain. Biasanya kami bermain permainan tradisional Jawa seperti Jamimuran, Kluwung, atau Petak Umpet.

Mengetahui masalahku di sekolah kakak menceritakan pada Ayah dan teman-teman kelasnya yang sekampung. Ayahpun menasehatiku saat Ayah menemaniku belajar di malam hari. Ayah bilang “Jangan berkecil hati dengan ejekan Teguh. Jadikan ejekan Teguh sebagai penyemangatmu, kamu bisa membalasnya dengan cara terhormat. Kalahkan dia dengan prestasi, jangan dengan adu fisik, atau kejahilan yang sama. Ayah yakin kalau kamu mau dan semangat kamu pasti bisa. Kamu bisa buat kelompok belajar dengan teman-temanmu. Ayah lihat kamu dan temanmu sangat kompak, pasti akan sangat mudah untuk saling membantu dalam belajar.”

Siang hari sepulang sekolahdi “panggrok” (Rumah pohon berbentuk panggung yang terbuat dari pelepah pohon rumbia) aku, kakak, teman-temanku, dan teman-teman kakak berkumpul untuk membicarakan strategi untuk membalas Teguh. Panggrok ini adalah tempat berkumpul anak-anak segala usia, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6 SD. Di tempat ini kami biasanya menunjukkan kebolehan kami seperti menyanyi dan menari. Kakak dan teman-temannya menawarkan diri untuk membantu kami belajar. Setelah peristiwa itu aku dan teman kampungku menjadi semakin sering belajar bersama, rumahku menjadi tempatnya.

Satu bulan sudah berlalu, ide jahil kami untuk mengerjai Teguh seakan lenyap begitu saja tertutup serunya belajar bersama. Sampai akhirnya memasuki musim penghujan, desa kami diguyur hujan deras berhari-hari. Desakami kebanjiran, banjir cukup tinggi sampi di atas lutut orang dewasa. Tetapi semangat kami untuk sekolah tidak surut. Beruntungnya di kampungku ada yang berprofesi sebagai nelayan, ia adalah ayah Turi. Dengan perahu Ayah Turi kami berangkat sekolah. Ayah Turi menjemput kami satu per satu dengan perahunya. Kami bergantian mendayung perahu ke sekolah. Anak-anak desa lain datang ke sekolah ada yang digendong orang tuanya, ada yang membawa baju ganti, karena bajunya basah terkena air banjir.

Sekolah kami juga tidak luput dari banjir, beruntungnya sekolah kami sedikit lebih tinggi letaknya sehingga air yang masuk tidak terlalu banyak dan tidak begitu mengganggu aktifitas KBM. Sedikit air yang masuk kelas membuat kami semua harus bekerja bakti menyapu air ke luar. Walau kami ke sekolah tanpa sepatu kami tetap semangat.

Karena musim hujan ini, kelas kami kedatangan tamu tak diundang. Beberapa burung hantu mengungsi di atas atap ruang kelas kami yang memang sudah bolong-bolong asbesnya. Dan suatu hari burung tersebut membuang kotoran tepat di atas meja Teguh. Kami yang melihat Teguh menggotong mejanya ke luar untuk dibersihkan hanya tertawa saja. Ulfa si kecil yang berani pun nyeletuk

“Hahaha, burung hantu pintar! Tahu saja, mana meja anak orang kaya! Buang kotoran pun pilih-pilih! Kasihan sekali kamu Toggok, pagi-pagi dapat hadiah! Tapi, sayang sekali hadiahnya kotoran burung hantu!” celetuk ulfa yang disambut gelak tawa teman-teman satu kelas.

Teguh hanya diam saja menahan dongkol, dan terus membersihkan mejanya dengan air dibantu oleh 3 teman setianya, Yanto, Giyo, dan Jono. Melihat kejadian itu ide jahil kami untuk mengerjai Teguh pun, terlintas lagi dipikiran Budi. Budi pun memanggil aku, Sari, Simin, Turi, dan Ulfa.

“Hei, ke sini sebentar, aku bisikin!”

Kami berlima segera menghampiri Budi.

“Bagaimana kalo kita kerjain Toggok, biar tambah sengsara dia.” Bisik Budi pada kami.

“Aku setuju, tapi bagaimana caranya?” tanya Ulfa

“Gampang, pas jam terakhir nanti setelah istirahat kita pasang bekas permen karet yang kita makan di bangku Toggok, setuju?”jawab Budi

“Setuju!” jawab kami berlima kompak

“Iya-iya biar dia tahu rasa.” Tambah ulfa

Saat bel istirahat berdentang, kami berenam segera berlari ke warung depan sekolah untuk membeli permen karet. Kami saling memandang dan tersenyum membayangkan rencana kami sambil mengunyah permen karet kami masing-masing. Begitu kelas kosong kami segera mengendap-endap memasang jebakan permen karet di bangku Teguh.

“Hahaha, rasain kamu Toggok! Makanya jadi anak jangan sombong!” ucap kami sambil tersenyum licik.

Sebelum bel masuk berbunyi kami berlima sudah siap duduk di bangku masing-masing dan untungnya ada beberapa teman lain yang juga sudah masuk kelas sebelum bel berbunyi, sehingga Teguh tidak bisa asal menuduh kami. Kami diam dan saling lirik begitu melihat Teguh masuk kelas, menahan detak jantung yang seakan mau copot. Menanti reaksi Teguh, apakah dia melihat jebakan itu atau duduk langsung di kursinya. Untungnya dia tidak memperhatikan kursinya dan langsung duduk. Kami berlimapun bisa menarik nafas lega.

Pak Sumar masuk dengan pelajaran Matematika, kali ini bukan lagi penjumlahan tapi hafalan perkalian. Seperti janji Pak Sumar di minggu sebelumnya bagi anak yang belum hafal perkalian 1-5 akan di hukum berdiri di depan kelas sampai pelajaran usai. Hari ini aku tidak takut, karena aku memang sudah hafal. Teman-teman kampungku memiliki andil yang besar dalam belajar menghafal, kami belajar bersama selama seminggu untuk menghafal. Saat pak guru memanggilku untuk maju ke depan, aku dengan percaya diri maju ke depan. Dan aku menjawab pertanyaan mencongak dengan lancar, begitupun Sari dan Budi.

Saatnya Teguh maju ke depan, kami menunggu dengan deg-degan saat Teguh hendak berdiri dari bangkunya. Benar saja saat hendak berdiri celana menempel di bangku susah diangkat. Pak Guru memanggilnya berulang-ulang. Dengan sekuat tenaga Teguh mencoba berdiri dan akhirnya dia bisa berdiri tetapi celananya sobek. Teman-teman sekelas yang melihatnya berusaha menahan tawa takut Pak Guru marah. Mungkin karena malu atau menahan kesal hafalannya pun jadi tidak bagus, banyak jawaban yang dia lontarkan salah. Hari ini memang hari yang sial untuk Teguh. Teguh dihukum berdiri di depan kelas sampai pulang sekolah, dengan celananya yang sobek. Tidak hanya Teguh saja, Yanto, Giyo, dan Jono serta beberapa teman kami yang belum hafal berdiri di depan kelas kira-kira ada 10 orang termasuk Simin.

Saat pulang sekolah Teguh dan 3 temannya menghampiri Ulfa.

“Unyil, kamu yang ngerjain aku tadi kan!” tuduh Teguh

“Hei, enak saja! Jangan sembarang nuduh dong! Apa buktinya?” kilah Ulfa

“Udah lah, nggak usah bohong kamu, pasti kamu kan! Tunggu saja pembalasan dariku, yah!”

Kami berempat yang melihat Ulfa segera menghampirinya

“Toggok, jangan sembarangan nuduh dong!” timpal ku

“Makanya jadi orang jangan sombong, jadi banyak teman yang tidak suka denganmu!” imbuh Budi.

“Katanya pintar, tapi hafalan perkalian 1-5 tenyata juga tidak bisa!” tambah Sari

“Alah, tidak usah mengelak pasti kalian pelakunya.” jawab Teguh

“Ayo, ngaku kamu!”bentak Teguh sambil mencengkram kerah baju Budi

“Udah bos, ayo pukul saja, mereka udah ngejekin kita bos!”seru Giyo

“Hei, Kalian! Kalian ini preman atau anak sekolah, hobinya berkelahi! Kalau kalian memang jagoan dan super hebat, ayo lawan balap rakit!” tantang Ku

“Oke, siapa takut!” jawab Teguh mantap

“Tapi kalau kita menang, kalian harus siap menuruti mau kami!”Tantang Teguh

“Tapi kalau kami yang menang, kalian tidak boleh mengganggu dan mengejek kami lagi selamanya!” Jawab Budi

“Oke, setuju! Kapan kita balapan?”

“Bagaimana kalau besok sore sepulang sekolah, start dekat jembatan rumah Ulfa, finish di jembatan samping sekolah?” Usul ku

“Setuju! Hahaha siap-siap saja, kalian akan kami pecundangi.” Jawab Teguh

“Hahaha kita akan punya banyak babu baru, Bos!” seru Jono

“Kita undang kawan-kawan satu kelas biar jadi saksi kekalahan mereka, Bos!” Imbuh Yanto

Siang itu juga aku dan teman-temanku membuat rakit kami di belakang sekolah. Tidak butuh waktu lama, rakit kami jadi. Kami memang sering membuat dan bermain rakit dari batang pohon pisang saat musim hujan tiba. Kami segera mengantar ulfa pulang kebetulan rumahnya dekat dan setelah itu kami menempatkan rakit di tempat start. Tapi tak lama kemudian terlihat gank Toggok dari kejauhan membawa rakitnya. Kami segera berlalu, malas meladeni omongannya lagi.

Esok harinya sebelum pulang sekolah Teguh mengumumkan ke teman-teman satu kelas tentang balapan yang akan kami lakukan, Teguh meminta teman-teman untuk datang menonton, mungkin dia bermaksud menciutkan nyali kami. Tapi kami justru tambah semangat, kami yakin akan menang. Apalagi kami punya Simin yang tenaganya cukup besar.

Sore harinya menjelang senja, setelah hujan rintik reda kami bersiap di tempat start balapan rakit. Terlihat juga beberapa teman kelas kami yang ingin menyaksikan balapan kami sudah datang dan menunggu. Terlihat pelangi di atas langit sungai menambah indah suasana dan semangat kami balapan. Kami dan gank Toggok segera bersiap di atas rakit masing-masing. Teman-teman yang tidak suka dengan gank Toggok bersorak menyemangati kami.

“1….2….3…. Laju” aba-aba Teguh memulai balapan

Kami mendayung dengan semangat membara. Gank Toggok terus melaju dengan rakitnya, kami mulai tertinggal beberapa meter di belakang.

“Ha…ha…ha…. sudah menyerah saja kalian pasti kalah! Tidak usah buang tenaga kalian dengan percuma!” teriak Teguh mengejek kami

Kami tidak mau menyerah, kami tambah bersemangat mendengar ejekan Teguh, kami tidak mau kalah dan menjadi babu Teguh.

“Ayo, mendayung lebih kuat lagi! Ayo, semangat!” seru Budi

Teman-teman yang menonton juga terus menyemangati kami sambil berjalan di tepi sungai mengikuti balapan. Sampai tiga perempat jalur balapan terlihat gank Toggok mulai kelelahan. Jarak kami semakin dekat. Dan sampai akhirnya melampau rakit mereka.

“Yeeee, kita pasti menang!” Sorak ku dan ulfa semangat

“Ayo…ayo…ayo…. cepat…cepat…cepat….!” seru teman-teman kelas kami yang berada di finish

“Yeeee, menang!” seru kami berenam sambil tos

Dan akhirnya kami sampai di finish terlebih dulu. Terlihat wajah kesal Teguh di rakitnya. Terlihat mulutnya berkomat-kamit mengomel pada 3 temannya.

Di jembatan sungai dekat sekolah, di bawah langit senja, disaksikan teman-teman kelas kami, Teguh dan ganknya mengakui kekalahannya dan mengucapkan janjinya untuk tidak mengganggu dan mengejek kami lagi.

Hari ini pelangi, langit senja, sungai, dan teman-teman sekolah menjadi saksi semangat dan kemenangan kami. Kemenangan kami melawan kesombongan gank Togok. Keberhasilan kami mengalahkan dan mempermalukan teman yang sombong dengan cara terhormat.

Hari demi hari berlalu, kami semakin sering belajar kelompok dan ulfa juga sering ikut belajar bersama kami. Kami ingin mengalahkan Teguh di akademis juga. Karena semangat belajar kami yang semakin meningkat dan kerjasama dalam belajar kemampuan akademisku dan teman-teman kampungkumulai meningkat. AKu dan teman-teman satu kampungnya memang belum berhasil masuk sepuluh besar. Namun setidaknya Ku berhasil mengalahkan Teguh di nilai raportnya. Namun sayangnya tidak ada perubahan yang signifikan pada akademik Simin. Simin tidak mau lagi sekolah, dia malu pada teman-temannya. Dia memutuskan keluar sekolah dan membantu orang tuanya bekerja di sawah. Dan kami menghargai keputusannya. Tetap semangat teman-teman ^_^

 

Keterangan :

*1) Beres pokoknya, Pak

*2) Tenang saja, Pak

*3) Ku bawakan 100 nanti khusus untuk Bapak

Tinggalkan komentar